Rabu, 03 Juli 2019

AMALAN ISTRI UNTUK SUAMI YANG TELAH MENINGGAL DUNIA

Pos baru pada Salafy.or.id AMALAN ISTRI UNTUK SUAMI YANG TELAH MENINGGAL DUNIA oleh webadmin Penerjemah: Al Ustadz Abu Utsman Kharisman Pertanyaan: هل صحيح يا سماحة الشيخ أن الزوجة لا يصح لها أن تتصدق عن زوجها بعد وفاته، ولا تترحم عليه، ولا تدعو له! وإذا صح ذلك فما هي الأسباب نرجو منكم الإفادة الشرعية؟ Apakah benar wahai Syaikh yang mulia, bahwa seorang istri tidak boleh bershodaqoh untuk suami yang telah meninggal, tidak boleh mendoakan rahmat untuknya, tidak boleh berdoa untuknya? Jika itu benar, apakah penyebab hal itu. Kami berharap faidah syar’i dari anda... Jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah: هذا ليس بصحيح! هذا غلط! الذي يقول هذا غلط يعني جهل ومنكر، بل يشرع لها تتصدق عنه، والدعاء له والاستغفار له، والحج عنه، والعمرة كله طيب، الله جعل بينهما عشرة.. عشرة واجتماع لا ينبغي أن ينسى فضله، الله يقول: وَلا تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ] البقرة:237] لا تنس الزوجة زوجها ولا ينساها هو إن ماتت قبله، كل منهما يشرع له الإحسان إلى الميت قبله بالصدقة والدعاء والاستغفار والحج عنه وقضاء دينه، وغير هذا من وجوه الخير، والذي يقول: لا يفعل، هذا قول باطل ومنكر، لا يقوله عاقل Ini tidak benar. Ini salah. Orang yang mengucapkan demikian salah, ia bodoh, dan itu suatu hal yang munkar. Justru disyariatkan bagi istri untuk bershodaqoh untuk suaminya, mendoakan, beristighfar untuknya, berhaji, dan melakukan umroh untuknya. Ini semua baik. Allah telah menjadikan antara keduanya pergaulan dan persatuan yang baik. Janganlah melupakan kebaikan pasangan. Allah berfirman: وَلا تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ Dan janganlah kalian melupakan kebaikan di antara kalian (Q.S alBaqoroh ayat 237) Janganlah seorang istri melupakan suaminya. Demikian pula janganlah seorang suami melupakan istrinya. Meskipun pasangannya tersebut telah meninggal. Masing-masing disyariatkan untuk berbuat baik kepada pasangan yang telah meninggal dengan bershodaqoh, berdoa, beristighfar, berhaji, menunaikan hutangnya, dan kebaikan yang lain. Orang yang mengatakan: “Itu tidak boleh dilakukan”. Ini adalah ucapan batil dan munkar. Orang yang berakal tidak akan mengucapkan demikian Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/9068/مدى-صحة-قول-من-قال-ان-المراة-لا-يصح-ان-تتصدق-عن-زوجها-بعد-وفاته webadmin | 13 Maret 2019 pukul 1:21 pm | Kategori: Anak dan Keluarga | URL: https://wp.me/p1FTDn-3aM Berhenti berlangganan dari agar tidak lagi menerima pos dari Salafy.or.id. Ubah pengaturan email Anda di Kelola Langganan. Sulit mengeklik? Salin dan rekatkan URL ini ke peramban Anda: https://salafy.or.id/blog/2019/03/13/amalan-istri-untuk-suami-yang-telah-meninggal-dunia/

ABU BAKR DIBELA DAN DISEGANI LAWAN

Pos baru pada Salafy.or.id Abu Bakr Dibela dan Disegani Lawan oleh webadmin Ditulis oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman Demikian masyhurnya sifat-sifat kebaikan yang ada pada Abu Bakr, sampai-sampai orang yang masih musyrik pun mengakuinya dan membela beliau. Mari disimak kisah yang termaktub dalam Shahih al-Bukhari berikut ini. Saat sikap kaum musyrikin Quraisy sudah melampaui batas, Abu Bakr berencana berhijrah ke Habasyah. Di tengah perjalanan, beliau berjumpa dengan Ibnud Daghinah. Ibnud Daghinah bertanya: Hendak ke manakah anda wahai Abu Bakr? Abu Bakr berkata: Aku diusir oleh kaumku. Aku akan pergi menjelajah bumi agar bisa beribadah kepada Rabbku. Ibnud Daghinah berkata: Orang sepertimu tidak layak keluar atau diusir. Anda suka membantu orang yang tak berpunya, menyambung silaturrahmi, meringankan beban orang kesusahan, suka memuliakan tamu, banyak menolong dalam kebaikan. Kembalilah ke kampung anda. Saya yang akan menanggung pembelaan terhadap anda. Silakan beribadah di tempat kediaman anda. Ibnud Daghinah yang masih musyrik bersedia menjadi penjamin keamanan Abu Bakr as-Shiddiq karena benar-benar mengakui dan merasakan kebaikan akhlak Abu Bakr sejak dulu. Abu Bakr terbaik di masa Jahiliyyah, dan menjadi terbaik setelah Islam, karena beliau faqih (paham Dien dengan baik). خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْإِسْلَامِ إِذَا فَقُهُوا Orang terbaik di antara mereka di masa Jahiliyyah adalah yang terbaik di antara mereka dalam Islam jika mereka faqih (H.R al-Bukhari dan Muslim) Kemudian Ibnud Daghinah berkeliling menyampaikan jaminan keamanan itu kepada orang-orang musyrikin Quraisy. Para musyrikin tersebut memperbolehkan Abu Bakr beribadah, namun terbatas hanya di rumahnya saja. Dilarang menampakkan atau memperdengarkan ibadahnya, khawatir bisa mempengaruhi anak dan istri orang-orang Quraisy tersebut. Abu Bakr pun membangun masjid di halaman rumahnya. Beliau sholat di dalamnya. Di keheningan malam beliau lantunkan ayat-ayat al-Quran. Beliau membacanya dengan demikian khusyu’ dan menangis. Hal itu mengundang para istri dan anak-anak Quraisy tertarik dengannya. Hal itu jelas membuat gusar orang-orang musyrikin Quraisy, sehingga mereka menyampaikan kepada Ibnud Daghinah agar memberikan pilihan kepada Abu Bakr: harus beribadah tersembunyi, atau menarik jaminan keamanan terhadapnya. Saat Ibnud Daghinah menyampaikan pilihan tersebut, Abu Bakr berkata: فَإِنِّي أَرُدُّ إِلَيْكَ جِوَارَكَ وَأَرْضَى بِجِوَارِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلّ Sesungguhnya aku mengembalikan perlindunganmu, dan aku ridha dengan perlindungan Allah Azza Wa Jalla (H.R al-Bukhari) Pada saat perjanjian Hudaibiyyah, Urwah bin Mas’ud sempat meremehkan para Sahabat yang bersama Nabi, jika terjadi pertempuran akan lari meninggalkan beliau. Abu Bakr as-Shiddiq radhiyallahu anhu kemudian menimpali dengan ucapan yang sangat keras dan pedas terhadap Urwah bin Mas’ud. Awalnya, Urwah bin Mas’ud bertanya, siapakah yang mengucapkan demikian? Setelah diberitahu bahwa yang mengucapkan ucapan keras tersebut adalah Abu Bakr ash-Shiddiq, Urwah tidak berani membalas dengan ucapan yang keras juga, karena ia merasa Abu Bakr pernah berjasa terhadapnya. Urwah bin Mas’ud berkata: أَمَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلَا يَدٌ كَانَتْ لَكَ عِنْدِي لَمْ أَجْزِكَ بِهَا لَأَجَبْتُكَ Demi Yang jiwaku berada di TanganNya, kalaulah tidak karena kebaikan yang pernah engkau berikan kepadaku yang aku tidak bisa membalasnya, niscaya aku akan menjawab ucapanmu tadi (H.R al-Bukhari) webadmin | 14 Maret 2019 pukul 8:14 pm | Kategori: Kisah | URL: https://wp.me/p1FTDn-3aQ Berhenti berlangganan dari agar tidak lagi menerima pos dari Salafy.or.id. Ubah pengaturan email Anda di Kelola Langganan. Sulit mengeklik? Salin dan rekatkan URL ini ke peramban Anda: https://salafy.or.id/blog/2019/03/14/abu-bakr-dibela-dan-disegani-lawan/

BERAKHLAK MULIA KEPADA ALLOH DANKEPADA PARA HAMBA

Pos baru pada Salafy.or.id BERAKHLAK MULIA KEPADA ALLAH DAN KEPADA PARA HAMBA oleh webadmin Penerjemah: Al Ustadz Abu Utsman Kharisman Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan: Akhlak yang baik adalah kepada Allah dan kepada para hamba Allah. Akhlak yang baik kepada Allah adalah ridha terhadap hukum-Nya baik secara syar’i maupun secara takdir. Ia menerima hal itu dengan lapang dada dan tidak mengeluh. Tidak marah dan bersedih. Jika Allah menakdirkan sesuatu kepada seorang muslim yang tidak disukai oleh muslim itu, dia merasa ridha, menerima, dan bersabar. Ia berkata dengan lisan dan hatinya: Aku ridha Allah sebagai Rabbku. Jika Allah menetapkan hukum syar’i, ia pun ridha dan menerima. Ia tunduk kepada syariat Allah Azza Wa Jalla dengan lapang dada dan jiwa yang tenang. Ini adalah akhlak yang baik (mulia) kepada Allah Azza Wa Jalla. Sedangkan akhlak yang baik kepada makhluk (Allah) adalah sebagaimana ucapan sebagian Ulama: menahan diri untuk tidak mengganggu (menyakiti), suka memberi, dan bermuka manis. Menahan diri untuk tidak mengganggu artinya tidak mengganggu manusia baik dengan lisan maupun anggota tubuhnya. Sedangkan banyak memberi adalah suka memberi dalam bentuk harta, ilmu, kedudukan, dan selainnya. Bermuka manis adalah menyambut manusia dengan wajah yang cerah, tidak bermuram muka atau memalingkan pipinya. Ini adalah akhlak yang baik kepada makhluk (Allah). Tidak diragukan lagi bahwasanya orang yang melakukan hal ini, dengan menahan diri untuk tidak mengganggu dan banyak memberi, akan membuat wajahnya berseri. Tidak diragukan lagi bahwa ia akan bersabar atas sikap manusia yang menyakitkan terhadapnya. Sikap bersabar atas gangguan manusia adalah termasuk akhlak yang baik. Sesungguhnya di antara manusia ada orang-orang yang suka menyakiti saudaranya, dengan bertindak sewenang-wenang dan merugikannya, misalkan dengan memakan hartanya atau menuntut hak yang sebenarnya milik (orang lain itu), dan lain sebagainya. Namun orang itu bersabar dan berharap pahala dari Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Akibat yang baik akan didapatkan oleh orang-orang yang bertakwa. Ini semuanya adalah bentuk akhlak yang baik kepada manusia. (Syarh Riyaadhis Sholihin libni Utsaimin (1/656)). Lafadz Asli: وحسن الخلق يكون مع الله ويكون مع عباد الله . أما حسن الخلق مع الله فهو: الرضا بحكمه شرعا وقدرا وتلقى ذلك بالانشراح وعدم التضجر، وعدم الأسى والحزن، فإذا قدر الله على المسلم شيئا يكرهه رضي بذلك واستسلم وصبر وقال بلسانه وقبله: رضيت بالله ربا، وإذا حكم الله عليه بحكم شرعي رضي واستسلم، وانقاد لشريعة الله عز وجل بصدر منشرح ونفس مطمئنة فهذا حسن الخلق مع الله عز وجل . أما مع الخلق: فيحسن الخلق معهم بما قاله بعض العلماء، كف الأذى وبذل الندي وطلاقة الوجه . كف الأذى: بألا يؤذي الناس لا بلسانه ولا بجوارحه وبذل الندي: يعني العطاء فيبذل العطاء من مال وعلم وجاه وغير ذلك وطلاقة الوجه، بأن يلاقي الناس بوجه منطلق ليس بعبوس ولا مصعر خده وهذا هو حسن الخلق . ولا شك أن الذي يفعل هذا، فيكف الأذى ويبذل الندي ويجعل وجهه منطلقا، لا شك أنه سيصبر على أذى الناس أيضا فإن الصبر على أذى الناس لا شك أنه من حسن الخلق فإن من الناس من يؤذي أخاه وربما يعتدي عليه بما يضره بأكل ماله أو جحد حق له أو ما أشبه ذلك فيصبر ويحتسب الأجر من الله سبحانه وتعالى، والعاقبة لمتقين وهذا كله من حسن الخلق مع الناس . webadmin | 28 Februari 2019 pukul 17:26 | Kategori: Adab dan Akhlaq | URL: https://wp.me/p1FTDn-3a7 Berhenti berlangganan dari agar tidak lagi menerima pos dari Salafy.or.id. Ubah pengaturan email Anda di Kelola Langganan. Sulit mengeklik? Salin dan rekatkan URL ini ke peramban Anda: https://salafy.or.id/blog/2019/02/28/berakhlak-mulia-kepada-allah-dan-kepada-para-hamba/

HUKUM MENCUKUR HABIS JENGGOT UNTUK MENDAPATKAN PEKERJAAN

Pos baru pada Salafy.or.id HUKUM MENCUKUR HABIS JENGGOT UNTUK MENDAPATKAN PEKERJAAN oleh webadmin Penerjemah: al ustadz Abu Utsman Kharisman Pertanyaan: Jika saya ingin mendapatkan suatu pekerjaan, namun dipersyaratkan saya harus mencukur jenggot, apa yang harus saya lakukan? Jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah: Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits shahih: إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ Ketaatan (kepada manusia) hanyalah dalam hal yang ma’ruf (selama tidak bertentangan dengan aturan syariat, pent)(H.R al-Bukhari dan Muslim) Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal bermaksiat kepada Sang Pencipta Anda wajib bertakwa kepada Allah dan lebih mendahulukan ridha-Nya. Janganlah menyetujui syarat ini. Pintu rezeki masih banyak. Tidaklah tertutup, alhamdulillah. Bahkan terbuka. Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi berfirman: وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, Allah akan berikan kepadanya jalan keluar (Q.S atTholaaq ayat 2) Setiap pekerjaan yang mempersyaratkan di dalamnya kemaksiatan kepada Allah, janganlah dipenuhi. Sama saja apakah itu pekerjaan sebagai tentara, atau pekerjaan lain. Tinggalkan hal itu, dan carilah pekerjaan lain yang Allah Azza Wa Jalla perbolehkan. Janganlah tolong menolong dengan mereka dalam dosa dan permusuhan. Karena Allah berfirman: وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ...dan saling bekerjasamalah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (Q.S al-Maaidah ayat 2) Semoga Allah memberikan rezeki taufiq (petunjuk) kepada kami dan anda. Pertanyaan: Bagi pihak-pihak yang memerintahkan hal-hal semacam ini, mungkin mereka bisa mendapatkan petuah dari anda wahai Syaikh yang mulia? Penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah: Wajib bagi pemerintah dan setiap yang memiliki tanggungjawab di negeri Islam untuk bertakwa kepada Allah. Janganlah mengharuskan manusia melakukan hal-hal yang diharamkan Allah. Mereka wajib bertakwa kepada Allah. Hendaknya mereka berhukum dengan syariat Allah pada setiap yang mereka lakukan dan yang mereka tinggalkan. Karena Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi berfirman: فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا Tidak, demi Rabbmu, sungguh mereka tidak beriman, sampai mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai pemutus perkara terhadap apa yang mereka perselisihkan, kemudian (setelah engkau memutuskan) mereka tidak mendapati ganjalan dalam diri mereka terhadap keputusanmu dan benar-benar menerimanya (Q.S anNisaa’ ayat 65) Allah Ta’ala berfirman: أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ Apakah hukum jahiliyyah yang mereka inginkan? Siapakah yang lebih baik hukumnya dibandingkan Allah bagi kaum beriman? (Q.S al-Maaidah ayat 50) Allah Jalla wa ‘Alaa berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan pemimpin (maupun Ulama) di antara kalian. Jika kalian berselisih pendapat tentang suatu hal, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih baik dan lebih indah akibatnya (Q.S anNisaa’ ayat 59) Wajib untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika ada permasalahan pada perkara manusia, kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa yang diputuskan Allah dalam KitabNya yang agung atau dalam Sunnah yang Suci melalui tangan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, wajib diambil dan diterapkan, serta ditinggalkan hal-hal yang menyelisihinya. Inilah yang wajib bagi para pemangku tanggungjawab dalam permasalahan jenggot, riba, keputusan antar manusia, dan pada segenap urusan. Mereka harus berhukum dengan syariat Allah. Yang demikian itu, demi Allah adalah jalan kemuliaan, keselamatan di dunia dan di akhirat. Tidaklah mereka bisa mencapai kemuliaan yang sempurna dan keridhaan Allah secara sempurna kecuali dengan ketaatan kepadaNya (Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi) dan mengikuti syariatNya. Kita meminta kepada Allah untuk kami dan mereka taufiq dalam hal-hal yang diridhaiNya, dan (kami memohon) afiyat (keselamatan) dari fitnah-fitnah yang menyesatkan Sumber: https://binbaz.org.sa/old/29157 webadmin | 25 Februari 2019 pukul 23:26 | URL: https://wp.me/p1FTDn-39U Berhenti berlangganan dari agar tidak lagi menerima pos dari Salafy.or.id. Ubah pengaturan email Anda di Kelola Langganan. Sulit mengeklik? Salin dan rekatkan URL ini ke peramban Anda: https://salafy.or.id/blog/2019/02/25/hukum-mencukur-habis-jenggot-untuk-mendapatkan-pekerjaan/

Jumat, 16 November 2018

SUTRAH DALAM SHOLAT (BAGIAN 2)


July 8, 2013


No Comments


Tags: Besarnya Dosa Lewat di Hadapan Orang ShalatMencegah Orang yang Hendak Lewat di depan kita saat shalatShalat Menghadap Wajah ManusiaUKURAN SUTRAH


UKURAN SUTRAH


Ibnu Qudamah  menyatakan, “Adapun kadar lebar/tebalnya sutrah, setahu kami tidak ada batasannya. Maka boleh menjadikan sesuatu yang tipis/tidak lebar sebagai sutrah seperti anak panah dan tombak, sebagaimana boleh menjadikan sesuatu yang tebal/lebar sebagai sutrah seperti tembok. Dan sungguh Nabi  pernah bersutrah dengan tombak. Abu Sa’id berkata, “Kami pernah bersutrah dengan anak panah dan batu ketika shalat.” Diriwayatkan dari Sabrah bahwa Nabi  bersabda, “Bersutrahlah kalian di dalam shalat walaupun hanya dengan sebuah anak panah.”1 Diriwayatkan oleh Al-Atsram. Al-Auza’i berkata, “Mencukupi bagi seseorang anak panah dan cambuk (sebagai sutrah).” Ahmad berkata, “Sesuatu yang lebar lebih menyenangkan bagiku, karena dari ucapan Nabi , ‘walaupun hanya dengan sebuah anak panah’ menunjukkan yang selain anak panah lebih utama dijadikan sutrah.” (Al-Mughni, kitabus Shalah, bab Imamah fashl Qadrus Sutrah)

Demikian pula dinyatakan oleh Al-Imam An-Nawawi  bahwa dalam perkara ini tidak ada ketentuan yang paten sehingga diperkenankan bersutrah dengan sesuatu yang tebal/lebar ataupun yang tipis. (Al-Majmu’, 3/227)

 

Shalat Menghadap Wajah Manusia

Al-Mirdawi berkata, “Dibenci seseorang shalat menghadap wajah manusia.” (Al-Masail Fiqhiyah 1/239). Demikian pula pendapat Malikiyah dan Syafi’iyah (Al-Majmu’, 3/230-231, Adz-Dzakhirah, 2/157).

Dalam hadits ‘Aisyah  disebutkan:

لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ n يُصَلِّي وَإِنِّي لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ وَأَنَا مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيْرِ، فَتَكُوْنُ لِي الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَسْتَقْبِلَهُ فَأَنْسَلُّ انْسِلاَلاً .

“Sungguh aku pernah melihat Nabi  shalat dan aku berada di antara beliau dengan kiblat dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur. Kemudian aku mempunyai keperluan, sementara aku tidak suka menghadap ke arah beliau, maka aku pun beringsut pelan-pelan.” (HR. Al-Bukhari no. 511)

Ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah  mengetahui bahwa Nabi  membenci bila seseorang menghadapkan wajahnya kepada beliau sementara beliau sedang shalat. Kejadian ini terjadi di malam hari dan tidak ada penerangan di rumah-rumah pada waktu itu sebagaimana dinyatakan secara jelas dalam haditsnya yang lain. Sehingga dibencinya seorang yang shalat menghadap wajah manusia bukan semata-mata karena tersibukkannya orang yang shalat dari shalatnya disebabkan melihat pada orang yang di hadapannya, namun karena dalam hal ini ada keserupaan dengan peribadatan kepada makhluk. Maka perkara ini dibenci sebagaimana dibencinya shalat menghadap gambar yang terpancang. (Al-Mughni, Kitabush Shalat, fashl Ash-Shalatu Mustaqbilan Wajha Insan ilan Nar, Fathul Bari li Ibni Rajab, Kitabush Shalah, bab Istiqbalur Rajul Ar-Rajul wa Huwa Yusalli)

Sebagai kesimpulan, sebab dibencinya shalat menghadap wajah manusia ada dua:

Pertama, tersibukkannya hati orang yang shalat dari shalatnya, sebagaimana jika ia melihat pada sesuatu yang melalaikannya.

Kedua, keadaan ini menyerupai sujud atau peribadatan kepada orang yang berada di hadapannya.

 

Tidak Membiarkan Sesuatu Lewat di Depannya

Nabi  tidak membiarkan sesuatu pun lewat antara dirinya dengan sutrahnya, hingga pernah suatu ketika:

كَانَ مَرَّةً يُصَلِّي، إِذْ جَاءَتْ شَاةٌ تَسْعَى بَيْنَ يَدَيْهِ، فَسَاعَاهَا حَتَّى أَلْزَقَ بَطْنَهُ بِالْحَائِطِ وَمَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ

“Suatu kali beliau sedang shalat, tiba-tiba datang seekor kambing bersegera hendak lewat di hadapan beliau, maka beliau pun mendahuluinya dengan maju hingga perut beliau menempel ke dinding dan hewan tersebut lewat di belakang beliau.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-KabirAl-Hakim 1/254, dan beliau berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat Al-Imam Al-Bukhari”, dan disepakati oleh Al-Imam Adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini shahih sebagaimana ucapan keduanya.” Lafadz hadits ini dari Ath-Thabarani. Dan tambahan (مَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ ) sanadnya hasan dari jalan ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi , 1/122-123)

Pada kali lain, Rasulullah  :

صَلَّى صَلاَةً مَكْتُوْبَةً فَضَمَّ يَدَهُ. فَلَمَّا صَلَّى، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَحَدَثَ فِي الصَّلاَةِ شَيْءٌ؟ قَالَ: لاَ، إِلاَّ أَنَّ الشَّيْطَانَ أَرَادَ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيَّ، فَخَنَقْتُهُ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَ لِسَانِهِ عَلَى يَدِي، وَأَيْمُ اللهِ، لَوْلاَ مَا سَبَقَنِي إِلَيْهِ أَخِي سُلَيْمَانُ، لَأَرْتَبِطُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ حَتَّى يَطِيْفَ بِهِ وِلْدَانُ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَحُوْلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ أَحَدٌ فَلْيَفْعَلْ

Beliau shalat wajib, lalu beliau menggabungkan tangan beliau (mencekik). Tatkala selesai shalat, mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah terjadi sesuatu dalam shalat tadi?” Beliau menjawab, “Tidak, hanya saja setan hendak lewat di hadapanku, maka aku mencekiknya hingga aku dapati dinginnya lidahnya di atas tanganku. Demi Allah, seandainya saudaraku Sulaiman tidak mendahuluiku dalam penguasaan terhadap setan niscaya aku akan mengikat setan tersebut di salah satu tiang masjid hingga dapat dipermainkan oleh anak-anak penduduk Madinah. Siapa di antara kalian yang mampu agar jangan ada seorang pun yang menghalangi antara dia dengan kiblatnya (dengan lewat di hadapannya, pent.) maka hendaklah ia lakukan.” (HR. Ad-Daraquthni 140, Ahmad 5/104-105, dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir. Berkata Al-Imam Al-Albani , “Sanadnya shahih dengan syarat Muslim. Lafadz hadits ini dari Ad-Daraquthni. Dan tambahan:

فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَحُوْلَ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الْقِبْلَةِ أَحَدٌ  فَلْيَفْعَلْ

dikeluarkan oleh Ahmad dengan sanad yang hasan dari Abu Sa’id Al-Khudri .” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi , 1/124)

 

Mencegah Orang yang Hendak Lewat

Hendaklah orang yang shalat menolak/mencegah apa pun yang lewat di depannya, baik orang dewasa maupun anak-anak, baik manusia maupun hewan. (Al-Mughni, Kitabush Shalat fashl Raddu Man Yamurru baina Yadail Mushalli)

Abu Said Al-Khudri  berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah  bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنّمّا هُوَ شَيْطَانٌ

“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang menutupinya dari manusia (menghadap sutrah), lalu ada seseorang ingin melintas di hadapannya, hendaklah ia menolaknya pada lehernya. Kalau orang itu enggan untuk minggir (tetap memaksa lewat) perangilah (tahanlah dengan kuat) karena ia hanyalah setan.” (HR. Al-Bukhari no. 509 dan Muslim no. 1129)

Ibnul Arabi  menyatakan yang dimaksud dengan muqatalah dari lafadz: فَلْيُقَاتِلْهُ adalah menolak/mendorong bukan maknanya al-qatl (membunuh). (Al-Qabas fi Syarhi Muwaththa’ Malik, 1/344).

Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr  berkata, “Kami memandang pernyataan mudafa’ah ini diinginkan dengannya penekanan untuk betul-betul mendorong orang yang lewat dan tentunya segala sesuatu ada batasnya.” (Al-Istidzkar 6/163)

Orang yang shalat mencegah orang yang hendak lewat pertama kali dengan cara yang halus, dengan menggunakan isyarat. Namun bila tetap memaksa ingin lewat, didorong lebih kuat dibandingkan dorongan sebelumnya. (Syarhus Sunnah 2/456, Subulus Salam, 1/230)

Bila hal itu sampai mengakibatkan kematian orang yang lewat tersebut tanpa kesengajaan orang yang shalat itu untuk membunuhnya, maka tidak ada tanggungan apa-apa dan tidak ada kewajiban yang dibebankan atas orang yang shalat tersebut2. (Al-Muhalla, 2/130, Al-Majmu’ 3/228, Fathul Bari, 1/754)

Ulama sepakat ia tidak boleh memerangi/melawan orang yang lewat tersebut dengan menggunakan senjata. (Al-Istidzkar 6/163, Subulus Salam 1/230, Nailul Authar, 3/8)

Untuk mencegah orang yang ingin lewat, ia tidak boleh sampai berjalan ke depannya, tapi ia hanya mencegah dalam batas yang bisa dijangkau oleh tangannya dari tempat berdirinya. (Fathul Bari, 1/754, Al-Minhaj 4/446,447)

Apabila seseorang telah telanjur lewat di depan orang yang shalat, apakah dia ditarik kembali ke tempatnya semula? Dalam hal ini didapati dua pandangan ahlul ilmi. Pendapat jumhur, di antaranya Asy-Sya’bi, Ats-Tsauri, Ishaq, dan Ibnul Mundzir, mengatakan, tidak disukai menariknya kembali ke tempat semula. Adapun ahlul ilmi yang lainnya memandang untuk mengembalikannya. Dan yang rajih adalah pendapat jumhur, karena dengan mengembalikannya akan membuat dia lewat dua kali. (Fathul Bari li Ibni Rajab, bab Yaruddul Mushalli Man Marra baina Yadaihi, Al-Mughni, Kitabush Shalat fashl in Marra baina Yadaihi Insaan fa ‘Abara, lam Yustahabba Radduhu, Fathul Bari, 1/754)

 

Besarnya Dosa Lewat di Hadapan Orang Shalat

Abu Juhaim ibnul Harits  berkata, “Rasulullah  bersabda:

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَي الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ، خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat (dalam jarak yang dekat dengan orang yang shalat, pent.) mengetahui apa yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40 (tahun), itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 510 dan Muslim no. 1132)

Hadits ini menunjukkan haramnya lewat di hadapan orang yang shalat dalam jarak yang dekat karena makna hadits ini adalah larangan yang ditekankan dan ancaman yang keras dari perbuatan demikian. Dengan begitu melewati orang yang shalat terhitung dosa besar. (Fathul Bari, 1/757)

Al-Imam Ibnu Hazm  menyatakan adanya kesepakatan ahlul ilmi tentang dibencinya lewat di antara orang shalat dengan sutrahnya dan berdosa siapa yang melakukan perbuatan tersebut. (Maratibul Ijma’ hal 54 )

Dalam hadits di atas kita dapatkan keterangan bahwa dosa yang disebutkan dalam hadits di atas diberikan kepada orang yang tahu adanya larangan lewat di depan orang shalat tapi ia tetap lewat. Dzahir hadits ini juga menunjukkan bahwa ancaman yang disebutkan khusus bagi orang yang lewat, bukan orang yang hanya diam berdiri dengan sengaja di depan orang shalat atau duduk ataupun tidur, akan tetapi bila alasan pelarangan adalah karena mengganggu/mengacaukan konsentrasi orang yang shalat maka sekadar diam di depan orang shalat pun bisa masuk ke dalam makna melewati.

Faedah

Adapun tambahan lafadz مِنَ الْإِثْمِ dalam hadits yang didapatkan di sebagian kitab, di antaranya dalam Ahkam lil Bukhari oleh Al-Muhibb Ath-Thabari, ‘Umdatul Ahkam oleh ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi, dinyatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab , “Lafadz ini ghairu mahfuzh (tidak terjaga/tidak shahih).”

 

Ibnu ‘Abdil Barr  menyebutkan bahwa tambahan lafadz ini dari riwayat Ats-Tsauri dari Salim Abun Nadhar, dan telah didapati pada kitab Ibnu Abi Syaibah riwayat Ats-Tsauri mudrajah (sisipan dari periwayat) dengan lafadz ini. Dengan demikian, keterangan yang ada menunjukkan lafadz tersebut mudrajah dari sebagian perkataan perawi dan merupakan tafsir dari makna (مَاذَا عَلَيْهِ). (Fathul Bari li Ibni Rajab, bab Al-Maarru baina yadail Mushalli)

Al-Imam Ibnu Shalah  berkata, “Lafadz tersebut tidak disebutkan dalam hadits secara sharih (jelas).” (Fathul Bari, 1/756)

 

Faedah

Ulama berselisih pandang tentang jarak yang diharamkan dan dibenci untuk dilewati oleh orang yang ingin lewat bila di hadapan orang yang shalat tanpa ada sutrah. Al-Hanafiyyah dan Al-Malikiyyah mengatakan, “Haram dilewati antara tempat telapak kaki orang yang shalat sampai ke tempat sujudnya.” Adapun Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah berpendapat yang diharamkan adalah sejarak tiga hasta dari telapak kaki orang yang shalat. (Al-Fatawal Hindiyah 1/128, Bada`i’ush Shana’i 2/83-84 Taudhihul Ahkam, 2/62)

 

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin  berkata, “Pendapat yang paling dekat dengan kebenaran adalah antara kedua kakinya dan tempat sujudnya, karena seorang yang shalat tidak berhak mendapatkan tempat lebih dari apa yang ia butuhkan dalam shalatnya sehingga ia tidak punya hak menahan orang yang lewat di tempat yang tidak dibutuhkannya. Adapun bila ia meletakkan sutrah maka tidak boleh dilewati antara dia dan sutrahnya. Namun kami katakan, “Bila engkau meletakkan sutrah maka jangan engkau berdiri jauh darinya tapi mendekatlah di mana nantinya sujudmu dekat dengan sutrah tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/709)

HUKUM SUTRAH

🔦بسم الله الرحمن الرحيم 🔦 🌱🚥HUKUM SUTRAH🚥🌱 📩📠✏SOAL : apakah hukum sutrah (pembatas dalam sholat) dan apa dalilnya yang shohih? 💎💺📥JAWAB: 💺📡 Terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama tentang hukum sutrah, ada yang memandang wajib, ada yang memandang selainnya,yang paling menenangkan hati kami hukumnya adalah sunnah muakkadah, seperti yang pernah disampaikan Asy Syaikh Badr Al anazi kepada kami. Adapun dalil tentang disyariatkannya sutrah diantaranya: 💎 Dalil 1 (عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا» . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَابْنُ مَاجَهْ) ☝Artinya: Dari Abi Said Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu,beliau berkata , berkata Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika salah seorang dari kalian sholat maka, sholatlah dengan menghadap kepada sutrah (pembatas ) dan mendekatlah kepadanya, (HR abu Daud dan Ibnu Majah) ” Berkata Asy Syaikh Albany : Hasan Shohih lihat :Shohih Abu Daud 💎 Dalil 2 (وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ: «إذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنْ النَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ» . ☝Artinya: “Dari Abi Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata aku mendengar Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “ Jika salah seorang dari kalian sholat dengan menghadap kepada sutrah yang menutupinya dari manusia , kemudian didapati seseorang ingin lewat dihadapan dia, maka hendaklah dia menahannya, jika dia tidak mau (berpaling) maka perangilah dia (tahanlah dengan kuat : pen) karena dia adalah Syaithan (Muttafaqun ‘alaihi)” 💎 Dalil 3 عَنْ أَبِي جُهَيْمٍ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ الصِّمَّةِ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيْ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ» ☝Artinya : “Dari abi Juhaim Abdillah bin Al Harits Al Anshori Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, berkata Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam: “ seandainya orang yang lewat dihadapan orang yang sedang sholat mengetahui apa yang akan didapatnya dari dosa, maka lebih baik bagi dia untuk berdiri 40 (dalam suatu riwayat : 40 tahun) daripada lewat dihadapan orang yang sedang sholat”(Muttafaqun ‘alaihi dan ini adalah Lafazh Al Bukhari ) 💎 Dalil 4 صَدَقَةُ بْنُ يَسَارٍ قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلَا تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ» ☝Artinya : Dari Shodafah bin Yasar beliau berkata, aku mendengar ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata, berkata Rasullullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah kalian sholat, kecuali sholat menghadap kearah sutrah, jangan biarkan seorangpun lewat dihadapan kalian jika dia menolak maka perangilah (tahanlah dengan kuat: pen) dia karena sesungguhnya dia bersama Qorinnya” (Shohih Ibnu Khuzaimah no 800) Allahu a'lam bisshowab 📝Ditulis oleh : Ustadz Abu Khuzaimah Hafizhahullah 📮Padang 11 Rabi'ul Akhir 1437 H, 21 januari 2016 ⌚Pukul 19.50 WIB ~~~~~~~~~~~~~~~~~~ 📡🌍 Publikasi : ~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Link Access : 📟 https://bit.ly/SilsilatusSholihinPadang --------------------------- 📮https://telegram.me/SilsilatusSholihin ==================== 🇮🇩💫Ⓜ️Ma'had Silsilatus Sholihin Padang 🌐 www.ilmusyari.com 📡 Turut Menyebarkan : ⏩ http://telegram.me/Sifat_Sholat_Nabi